Peacebuilding

Fase kedua dalam proses perdamaian adalah peacebuilding. Konsep ini pertama kali dipopulerkan oleh Bhoutros-Bhoutros  Ghali, mantan Sekretaris Jendral PBB pada tahun 1992. Menurut Bhoutros-Bhoutros  Ghali,
definisi peacebuilding adalah :
“comprehensive efforts to identify and support structures which will tend to consolidate peace and advance a sense of confidence and well-being among people. Through agreements ending civil strife, these may include disarming the previously warring parties and the restoration of order, the custody and possible destruction of weapons, repatriating refugees, advisory and training support for security personnel, monitoring elections, advancing efforts to protect human rights, reforming or strengthening governmental institutions and promoting formal and informal processes of political participation” 

Definisi ini kemudian diperkuat dengan pendekatan peacebuilding yang dipaparkan oleh John Galtung dan Andi Knight. John Galtung, peneliti studi perdamaian yang berasal dari Norwegia ini menyatakan bahwa peacebuilding adalah proses pembentukan perdamaian yang tertuju pada implementasi praktis perubahan sosial secara damai melalui rekonstruksi dan pembangunan politik, sosial dan ekonomi.
            Dalam pemetaan konflik, Galtung memperkenalkan konsep segitiga konflik dan perbedaan antara kekerasan langsung, kekerasan struktural dan kekerasan budaya, serta memperkenalkan antara pedamaian negative dan perdamaian positif. Peacebuilding menurut Galtung lebih menekankan kepada proses jangka panjang, penelusuran dan penyelesaian akar konflik, mengubah asumsi-asumsi yang kontradiktif, serta memperkuat elemen yang dapat menghubungkan pihak-pihak yang bertikai dalam suatu formasi baru demi mencapai perdamaian positif.   
Paparan Galtung ini diperkuat Andi Knight, ilmuwan politik Kanada, dalam bukunya Building Sustainable Peace yang menyatakan bahwa peacebuilding terkait dengan dua hal esensial yaitu dekonstruksi struktur kekerasan dan merekonstruksi struktur perdamaian. Lebih lanjut lagi, Knight menjelaskan bahwa tujuan utama dari peacebuilding adalah mencegah atau menyelesaikan konflik serta menciptakan situasi damai melalui transformasi kultur kekerasan menjadi kultur damai.  
            Strategi peacebuilding juga memiliki tahapan-tahapan waktu yang meliputi short-term (2 bulan-2 tahun), mid-term (2 tahun-5tahun), long-term (5-10 tahun) serta mencakup berbagai dimensi seperti politik, ekonomi, sosial dan internasional. Peacebuilding umumnya dilakukan oleh aktor domestik seperti masyarakat, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), namun tidak dipungkiri aktor eksternal seperti organisasi internasional, negara donor, dan international ­non-governmental organizations (INGO’s) memiliki peranan penting dalam memfasilitasi dan mendukung upaya peacebuilding.
Peacebuilding dalam proses perdamaian meliputi tahap transisi, dan tahap konsolidasi. Peacebuilding merupakan tahapan terberat dan akan memakan waktu paling lama karena memiliki orientasi struktural dan kultural. Pada tahap transisi, governance-based approach merupakan suatu pendekatan yang dominan untuk digunakan. Pendekatan ini sangat menekankan penerapan model Grotian dan Kantian tentang pemulihan norma-norma liberal untuk memulihkan civil society (Hampson: 1997, 737). Model Grotian dan Kantian ini menempatkan institusi demokrasi dan pelaksanaan HAM sebagai prioritas utama (Baker: 1996, 568; Owen, 1995).
Kaum Grotian melandaskan diri pada konsep societas quasi politica et moralis yang diperkenalkan oleh Fransisco Suares (1548-1617) (Wight: 1996, Bab 10). Konsep ini menganggap negara sebagai suatu entitas politik  semu dan semi-barbarian yang harus membuat suatu kontrak sosial berupa standar-standar normal yang akan mengatur hubungan antar negara. Masalah utama dari ide ini adalah keharusan untuk menyeragamkan doktrin dasar negara dan program perdamaian.
Uniformitas ide perdamaian ini akan menemui batu sandungan, terutama ketika ide tersebut akan diaplikasikan untuk menangani masalah-masalah kemanusiaan yang terjadi karena pecahnya konflik internal (Widjajanto: 2000a). Hal ini disebabkan oleh tiga faktor, (1) uniformitas perdamaian tidak memberikan kesempatan kepada komunitas lokal untuk mengembangkan sendiri alternatif-alternatif penyelesaian konflik yang cocok untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi; (2) uniformitas perdamaian berusaha diadopsi secara langsung oleh negara-negara yang memiliki konteks struktur masyarakat yang berbeda (Widjajanto: 2000a); dan (3) gagasan normatif kaum liberal seringkali tidak mengindahkan pentingnya faktor power politics yang cenderung berperan negatif baik dalam proses demokratisasi (Mansfiled dan Synder: 1995) maupun dalam stabilisasi proses perdamaian (layne: 1994).
Tahap kedua dari proses peace-building adalah tahap konsolidasi. Dalam tahap konsolidasi ini, semboyan kaum realis “si vis pacem, para bellum” (jika menginginkan perdamaian persiapkan mesin perang harus dibuang jauh-jauh) digantikan dengan semboyan “Quo Desiderat Paceh, Praeparet pacem” (jika menginginkan perdamaian, persiapkan perdamaian). Tantangan peacebuilding pasca perjanjian damai mencegah keterlibatan aktor pelaku konflik merupakan tugas politik yang harus dilakukan dan paling penting dilakukan oleh para pembangun perdamaian. Semboyan ini mengharuskan aktor-aktor yang relevan untuk terus-menerus melakukan intervensi  perdamaian terhadap struktur sosial dengan tujuan yaitu  mencegah terulangnya kembali konflik yang melibatkan kekerasan bersenjata serta merekonstruksikan proses perdamaian yang dapat dijalankan sendiri oleh pihak-pihak yang bertikai.
Dua tahap peacebuilding tersebut dapat dicapai dengan merancang dua kegiatan. Kegiatan pertama adalah mengoperasionalkan indikator sistem peringatan dini (early warning system). Indikator tersebut harus terkait dengan variasi sumber konflik lokal. Sistem peringatan dini ini diharapkan dapat menyediakan ruang manuver yang cukup luas bagi beragam aktor peacebuilding dan memperkecil kemungkinan penggunaan kekerasan bersenjata untuk mengelola konflik.
Kedua, perlu dikembangkan beragam mekanisme peacebuilding lokal yang melibatkan sebanyak mungkin aktor-aktor non-militer diberbagai tingkat eskalasi konflik. Aktor-aktor peacebuilding tersebut dapat saja melibatkan Non-Governmental Organization (NGOs), mediator internasional, atau institusi keagamaan.
Tentang elemen yang terlibat dalam pelaksanaan peacebuilding, komunitas internasional menyadari bahwa asistensi terhadap para pihak bertikai tidak hanya sebatas dalam perjanjian negosiasi damai saja, namun juga dalam mendorong dan konsolidasi perdamaian. Sehingga dalam mengimplementasikan kesepahaman damai, setiap unsur yang terlibat konflik harus diwujudkan dalam beberapa bagian yang meliputi : melucuti dan demobilisasi para kombatan, reintegrasi para pelaku perang ke masyarakat, demiliterisasi kekuatan militer, restrukturisasi dan reformasi sektor keamanan, penegakan HAM, mengembalikan pengungsi, reformasi sistem peradilan, pelaksanaan pemilihan umum, serta promosi bidang ekonomi dan sosial. Kapasitas setiap pihak untuk bertemu dan menyampaikan tuntutan yang sangat mendesak, memaksa institusi yang lemah dengan keterbatasan sumberdana dan keterpurukan ekonomi. Sebagai konsekuensinya setiap bagian mengharapkan kehadiran komunitas internasional sebagai donatur dan asistensi sebagai bentuk dukungan politik.
Dalam jangka panjang aktivitas peacebuilding terdiri atas dukungan dari bermacam-macam aktor eksternal: badan politik regional dan internasional, operasi panjaga perdamaian internasional, perwakilan menteri pertahanan dan kedutaan besar negara sahabat, donor bilateral dan multilateral, dan NGOs. Hal ini menggambarkan cakupan wilayah dari para donor dan asosiasi NGOs dalam mendukung kesepahaman damai. Untuk mendukung hal ini aktivitas para donor dikategorikan dalam tiga kategori, yaitu (1) membangun institusi politik, (2) konsolidasi sektor keamanan internal dan eksternal, dan (3) revitalisasi promosi bidang ekonomi dan sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar